Meningkatkan kualitas keilmuan menjadi syarat penting bagi seorang da’i (penyampai agama). Hal inilah yang melatari Diklat Da’i yang diselenggarakan DPW LDII Jawa Timur bekerjasama dengan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Diklat yang dilaksanakan selama dua hari, 24-25 Mei 2014 di UIN Sunan Ampel Surabaya ini merupakan angkatan ke IV sejak tahun 2011. Sehingga diklat ini bersifat berkelanjutan sejak angkatan pertama.
Fokus utama diklat adalah pemberian wawasan kebangsaan pada para da’i. Dalam ruang lingkup keindonesiaan, maka para da’i juga wajib memiliki wawasan untuk mendukung NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dalam setiap paparan dakwahnya. Segala perbedaan yang muncul dalam keseharian sudah selayaknya dibingkai dalam wadah NKRI.
“Perbedaan itu tak perlu dipermasalahkan. Hati saya sudah tersangkut dengan LDII. Meskipun saya tidak harus menjadi anggota LDII,” ujar Dr. H. Sahid HM, M.Ag Dekan Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Ampel sebagai salah satu pembicara.
Sahid juga mengedepankan dakwah transformatif. Dalam arti, dakwah haruslah bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Dalam kaitan agama dengan negara, Sahid memaparkannya dari tiga paradigma. Pertama, integratif, negara dan agama menyatu. Paradigma ini menempatkan negara sebagai lembaga politik sekaligus keagamaan. Akibatnya, penerapan hukum Islam sebagai hukum positif menjadi sebuah keniscayaan.
Paradigma kedua, sekularistik. Konsep ini memisahkan agama dan negara. Dengan demikian syariat Islam tidak bisa serta merta menjadi hukum positif, kecuali telah diterima sebagai hukum nasional. Paradigma ketiga, simbiotik, dimana agama dan negara berhubungan secara simbiotik.
Menurut Sahid, Indonesia tergolong dalam paradigma ketiga karena tidak mendasarkan pada satu agama tertentu, namun lebih menggunakan Pancasila sebagai dasar negara. Sehingga konsep dakwah yang mendukung NKRI menjadi sebuah keharusan.
Diklat diikuti 80 orang peserta yang merupakan utusan dari pondok-pondok binaan LDII dari 38 Kabupaten/Kota se-Jawa Timur. Para da’i inilah yang kelak menjadi para penyampai dakwah dengan mengedepankan konsep inklusivitas dan mendukung NKRI.
Selain transformatif, dakwah juga semestinya bersifat sosial ekonomi. Contoh dakwah sosial seperti dilakukan oleh Rasulullah SAW hingga beliau mendapat gelar Al-Amin yang berarti dapat dipercaya. Hal ini disampaikan oleh Ir. H. Chriswanto Santoso, M.Sc selaku Ketua DPW LDII Jawa Timur, yang tampil sebagai pembicara terakhir dalam diklat.
“Dakwah sosial tidak cukup dilakukan secara sporadis/sepintas, akan tetapi harus terus menerus sehingga terbangun komunikasi dan kondisi yang baik untuk menyampaikan pesan dakwah,” ujar Chriswanto.
Sementara itu dakwah ekonomi yang dimaksut adalah mengubah kondisi yang buruk menjadi lebih baik. Misalnya dengan membangun aktivitas sosial ekonomi di tingkat lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Seperti program Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, BMT, ataupun melalui lembaga PINBUK, BAZ, LAZNAS BMT, dll.
Prinsip dasar dakwah ekonomi adalah tolong menolong dan kasih sayang terhadap sesama. Prinsip ini sebenarnya sudah tertuang dalam ajaran Islam tentang infaq, shodaqoh, dan zakat.
Menurut Chriswanto, pendekatan sosial ekonomi dalam dakwah diharapkan mampu menghindarkan dari resistensi dan konfrontasi. Selain itu mampu menumbuhkan kemandirian dalam diri umat.
“Melakukan pendekatan sosial dan ekonomi itu perlu dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian melakukan penyampaian dakwah,” tutur Chriswanto.
Dengan demikian pendekatan sosial ekonomi dalam dakwah mampu menjadi akses kelancaran dakwah amar ma’ruf nahi munkar .